Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Jumat, 12 Maret 2010

IBU

Pagi buta pukul 03.00, ibu sudah bangun untuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke pasar. Maklum saja, ibuku adalah seorang penjual di pasar. Ibu sudah harus berangkat jam 06.00 pagi, ibu rela melakukannya demi mencukupi kebutuhan. Terkadang kalau aku libur aku juga suka membantu ibu. Kami tinggal di rumah berdindingkan bambu dan beratapkan seng, rumah kami hanya sepetak. Dan itu pun hanya ada dapur, ruang tamu dan 1 kamar. Tapi kami tetap bersyukur dengan apa yang telah kami punya.

“Cha, ayo bangun sudah pagi. Cepat mandi, sarapan dan berangkat sekolah” perintah ibu

“Ya bu” jawab Chacha

Kami hidup penuh dengan kesederhanaan. Sampai-sampai aku tak tega melihat ibu banting tulang dan bekerja keras, ibu tidak pernah mengenal kata lelah. Kalau aku belum berangkat sekolah, aku pasti membantu ibu. Entah itu membersihkan rumah ataupun pergi ke pasar, itu pun harus dengan jalan kaki. Karena, kami tidak punya sepeda, berangkat ke sekolah pun aku juga jalan kaki. Tapi aku tidak mau mengeluh, aku takut dengan keinginan ku memiliki sepeda menambah beban ibu. Jadi, keinginan untuk mempunyai sepeda hanyalah khayal semata.

“Bu, Chacha berangkat dulu ya..” pamit Chacha

“Ya Cha, hati-hati ya. Belajar yang rajin..” pesan ibu

“Ya bu, Assalamualaikum...” salam Chacha

“Wa’alaikumsalam” jawab ibu

Aku berangkat ke sekolah dengan jalan kaki. Maklum lah aku tidak mempunyai sepeda. Jarak antara rumah dan sekolah memang cukup jauh, tapi aku ingat akan pantun dari ibu “Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Jadi, biarpun aku ke sekolah dengan jalan kaki. Mudah-mudahan aku berhasil dan mampu membahagiakan ibu. Perjuangan ibu merawat ku sangatlah besar, ibu selalu menjaga dan menyayangi ku tanpa kenal lelah. Saat aku menangis malam hari, ketika semua orang terlelap tidur, ibu bangun hanya untuk menenangkan ku agar aku berhenti menangis. Saat aku melakukan kesalahan, ibu tidak pernah memarahi ku atau membentakku. Tapi, ibu menegur ku dan bicara baik-baik dengan ku. Ibu tidak pernah menunjukkan kalau ibu sedang sedih, ibu selalu tersenyum dibalik penderitaanya. Setiap malam, aku selalu melihat ibu menangis. Entah mengapa ibu menangis?. Dalam hati ku menangis, kapan penderitaan ini akan berakhir. Ku ingin melihat ibu tertawa dan menangis bahagia. Ternyata ini semua ulah ayahku yang tidak bertanggung jawab, ayah meninggalkanku dan ibu. Karena, ayah sudah tidak sanggup untuk hidup menderita seperti ini. Tapi, ibu tetap tegar menghadapinya. Pengorbanan ibu sungguh besar, mulai dari berjualan di pasar pada pagi hari, berjualan pisang goreng keliling pada siang hari, dan berjualan nasi goreng pada malam hari. Karena pengorbanan ibu, aku bisa sekolah hingga Sekolah Menengah Pertama.

”Akhirnya, sampai juga!” batin Chacha

”Aduh, cewek kampong udah datang. Iiih… jalan ke sekolah, pakai sepatu buluk dan tas buluk. Mana pakaian jamuran lagi, kamu nggak malu Cha?” ejek Luri

”kenapa harus malu, disini aku berniat untuk sekolah mencari ilmu agar aku bisa membalas pengorbanan ibuku dengan membahagiakannya. Bukan untuk mempamerkan kemolekan tubuh” jawab Chacha dengan tegas

”Alah, nggak usah sok alim. Sekali miskin, ya tetap aja miskin” olok Luri

”Terserah kamu mau bilang apa. Walaupun aku miskin, tapi aku masih punya harga diri. Jadi, jangan pernah menghina aku, apalagi ibuku” jawab Chacha

Luri adalah teman sekelasku, dia anak orang kaya. Jadi wajarlah kalau dia menghina dan mengejek ku seperti itu. Tapi, aku tetap sabar menghadapinya. Percuma juga meladeni anak seperti Luri, menghabiskan tenaga dan waktu saja. Bel masuk telah berbunyi, aku siap menerima pelajaran. Namun, aku harus berhadapan lagi dengan anak yang super duper menyebalkan.

”Aduh, permisi ya. Cewek cantik mau lewat, jadi jangan halangi langkahku dengan sepatu, tas dan baju buntut” sindir Luri

Aku hanya bisa tertawa, karena percuma aku membalas. Allah sudah membalas dengan permen karet yang menempel di rambut Luri, dan Luri pun berteriak keras.

”Selamat pagi anak-anak” sapa B. Inggit guru Matematika yang sangat sabar

”Pagi juga bu!” jawab seluruh siswa

”Cha, kamu disuruh P. Komeng ke kantornya sekarang juga!” perintah B. Inggit

”Baik bu” jawab Chacha dengan sopan

Chacha melangkah dengan perasaan takut. Karena, Chacha tidak mempunyai tanggungan pembayaran uang sekolah, bahkan berbuat nakal pun tidak. Tapi Chacha yakin bahwa Chacha tidak melakukan kesalahan, karena Chacha tidak mengecewakan ibunya yang telah rela bekerja siang malam deminya.

”Permisi pak. Apakah bapak memanggil saya?” Tanya Chacha

”Iya Cha. Ada yang ingin bapak sampaikan” terang P. Komeng

”Tentang apa ya pak. Soalnya, saya sudah melunasi semua pembayaran pak. Mulai dari uang SPP, uang gedung dan uang buku” Tanya Chacha

”Kamu memang sudah melunasinya. Tapi bukan itu yang ingin bapak katakan ke kamu Cha” ungkap P.Komeng

”Lalu apa pak?” Tanya Chacha penasaran

”Kamu mendapat beasiswa dan sepeda Cha. Karena, selama 4 semester kamu selalu ranking 1 paralel berturut-turut” cerita P. Komeng

”Serius pak?” Tanya Chacha berusaha meyakinkan

”Serius Cha, kamu bisa mengambilnya besok dan sepedanya akan diantar ke rumahmu. Dan sekarang kembalilah ke kelasmu” ungkap P. Komeng

”Ya… pak, terima kasih sekali. Permisi!” ucap Chacha

Akhirnya, usahaku berbuah hasil. Aku bisa membantu ibu untuk membeli bahan-bahan ibu berjualan.

Bel pulang pun berbunyi, waktunya pulang. Aku pulang dengan perasaan bahagia dan senang. Aku tidak sabar ingin memberi tahu ibu kalau aku mendapat beasiswa, ibu pasti sangat bahagia. Aku berlari agar cepat sampai rumah, tapi aku lupa kalau siang hari ibu masih berjualan pisang goreng keliling. Lebih baik aku pulang dulu untuk memberi kejutan, aku ingin memasakkan untuk ibu. Jadi ketika ibu pulang, ibu sudah tidak capek-capek lagi untuk memasak. Aku langsung menuju dapur tanpa berganti baju terlebih dahulu, aku langsung memasak nasi goreng, tempe dan tahu, lalu secerek teh hangat. Bagi kami itu adalah makanan yang paling nikmat, bahkan mengalahkan makanan-makanan cepat saji.

“Assalamualaikum. Ibu pulang Cha!” teriak ibu

“Wa’alaikumsalam. Mari bu, Chacha bantu. Sekarang ibu ganti baju terus makan siang, Chacha sudah masak buat ibu” cerita Chacha

“Memangnya ada apa ini?” Tanya ibu

“Bu aku baru saja mendapat beasiswa, karena selama 4 semester aku ranking 1 paralel dan besok sudah dapat diambil” cerita Chacha

“Alhamdullilah Cha. Ibu bangga memiliki buah hati seperti kamu” ungkap ibu

Walaupun kami tinggal dengan rumah berdindingkan bamboo, tapi hidup kami penuh dengan kebahagiaan. Tetap saja, beasiswa sebesar Rp 500.000 tidak dapat menggantikan atau membalas pengorbanan ibu untukku. Ibu sudah berjuang untuk membahagiakan ku, dengan menjual pisang goreng keliling, berjualan di pasar dan berjualan nasi goreng. Hanya dengan 500 ribu, tetap saja pengorbanan ibu untukku tak terbalas. Dengan apa ku bisa membalas jasa ibu, hanya menjaga, melindungi dan menjaga ibu yang bisa ku lakukan.

Malam telah tiba, sudah menyiapkan segelas teh hangat dan sepiring pisang goreng sebagai teman ku belajar. Aku belajar hanya dengan sebatang lilin, namun cahanya begitu besar karena ada ibu disamping ku. Setiap hari aku belajar 90 menit, setelah belajar ku ambil pisang goreng dan duduk disamping ibu sambil menatap bintang yang bersinar terang. Karena hawa dingin yang menusuk tulang, ibu mendekapku, hangat sekali dekapan ibu. Malam pun semakin larut, aku dan ibu beranjak menuju kamar untuk tidur. Aku tidur dengan ibu, di rumah ku hanya ada satu kamar.

“Bu, terima kasih atas apa yang telah ibu lakukan dan berikan untukku. Maafkan aku, aku tidak bisa membalasnya bu. Yang bisa kuberikan hanyalah rasa sayang tulusku kepada ibu” ungkap Chacha

“Sudahlah, ibu juga bangga memiliki putri seperti kamu Cha. Sudah malam, ayo tidur” tutur ibu

Ayam berkokok tanda pagi telah tiba, saat itu sekolah ku libur karena, ada acara guru. Jarum jam menunjukkan pukul 06.15, ada yang mengetuk pintu. Entah siapa gerangan dan ada maksud apa datang bertamu ke rumah orang pagi-pagi.

“Pagi-pagi sudah bertamu. Siapa ya?” batin Chacha

“Apakah benar ini rumah Chacha, siswi SMP Negeri Harapan Jaya?” Tanya lelaki berbadan tinggi.

“Ya benar. Ada keperluan apa?” Tanya Chacha

“Ini, saya mengantarkan sepeda untuk saudari Chacha” terang lelaki tersebut

“Oh.. terima kasih sekali pak” ucap Chacha

Akhirnya aku bisa mengantar ibu ke pasar, dan membantu ibu. Aku bersyukur padaMu ya Allah, atas apa yang telah Engkau berikan kepada hambaMu ini. Ku melangkah menuju kamar dengan perasaan bahagia, ku bangunkan ibu. Namun, kenapa badan ibu sangat panas apakah ibu sakit?. Aku langsung membawanya ke Puskesmas terdekat, dengan sepeda yang baru saja dikirim tadi. Ku periksakan ibu ke Puskesmas terdekat, setelah diperiksa ibu hanya sakit karena kelelahan. Jadi, kuputuskan agar ibu tidak berjualan ke pasar dulu dan berjualan pisang goreng. Kalau jualan nasi goreng biar aku saja. Aku tidak ingin sakit ibu bertambah parah, jadi kusuruh saja ibu beristirahat dan meminum obat dari dokter. Belum sempat aku duduk, sudah ada tamu yang menggedor pintu dengan keras.

“Cha, buka pintumu. Mana uang untuk bulan ini?” pinta B. Yani

“Iya bu, ini saya bayar untuk dua bulan kedepan. Kalau begitu totalnya Rp 300.000” ungkap Chacha “Baiklah” jawab B. Yani

Maklum saja, tanah tempat berdirinya rumah kami bukan tanah milik kami. Tapi, tanah milik B. Yani, kami

menyewanya satu bulan Rp 150.000. Untungnya ada uang beasiswa dari sekolah jadi aku bisa membayar untuk dua bulan kedepan.

Malam telah datang menjelang, sakit ibu semakin parah. Aku tak tega melihat ibu, tubuh ibu kaku karena kedinginan. Walaupun sudah ku selimuti, namun karena tipisnya selimut ibu tetap kedinginan. Lalu kuambilkan jaket ku agar badan ibu lebih hangat, tiap kali ibu tidur ku tak tega melihatnya. Tetesan peluhnya hanya untuk menghidupiku, tetesan keringatnya hanya untukku. Namun, ku tak tahu harus dengan apa ku membalasnya, aku belum siap jika harus kehilangan ibu. Akupun beranjak untuk tidur.

Pukul 05.00 aku sudah bangun, aku mandi, sholat shubuh dan membangunkan ibu. Namun, sudah dari tadi aku membangunkan ibu, tapi ibu tidak ada reaksi sama sekali. Kupanggil ibu dan kugoyangkan sedikit badan ibu, akhirnya ibu bangun juga. Tanpa kata-kata, ibu langsung memelukku erat-erat.

“Ada apa bu?” tanyaku dengan lembut

“Tidak apa-apa, ibu sangat sayang denganmu. Maafkan kesalahan ibu ya, baik yang ibu sengaja atau tidak. Mungkin ibu sudah tidak bisa membuatkanmu pisang goreng untuk temanmu belajar” cerita ibu

“Maksud ibu apa” ku bertanya lagi

“Mungkin ini adalah pelukan dan dekapan terakhir untukmu Cha” terang ibu

“Kenapa ibu berbicara seperti itu, aku tidak mau kehilangan ibu” ungkapku

“Cha, maafkan kesalahan ibu ya. Kejar terus cita-citamu, jangan sampai putus sekolah. Ibu akan melihatmu bahagia dari atas sana” tutur ibu sambil menghela nafas terakhir.

Hal yang kutakutan telah terjadi, ibu meninggalkanku untuk selamanya. Kini aku tak tahu harus bagaimana lagi, hidup tanpa seorang ibu bagiku mustahil. Lalu siapa yang membuatkanku pisang goreng saat aku belajar, aku tidak ingin ibu pergi meninggalkanku. Namun, aku tidak boleh menyerah dan putus asa, aku harus ingat akan kata ibu “Tuhan tidak akan menguji umatnya melebihi batas kemampuannya”. Mungkin dibalik ini semua, Tuhan memiliki rencana yang indah untukku. Banyak hal yang takkan pernah kulupakan dari ibu, rasa syukurnya dan pengorbanannya untukku. Ya Allah, berikan tempat terindah untuk ibu. Dan kini kuhidup sebatang karang dalam gubuk kecil, aku tidak boleh menyerah.

Ibu, engkau takkan pernah kulupa

Engkau takkan pernah terganti

Hanya ada namamu dalam hatiku

Akan kujalani hari esok tanpa seorang ibu disisiku.

0 komentar: